Pura-pura Bersedih Karena Ramadhan Pergi


Saat Ramadhan, di penghujung malam, para sahabat dan salafush-shalih larut dalam tahajud panjang, lalu meraih keberkahan sahur sembari memperbanyak istighfar di sela-sela sisa waktunya.

Pagi harinya, ada yang setelah shalat subuh tidak beranjak dari tempat duduknya. Mereka tetap duduk dan membasahi bibirnya dengan bacaan dzikir sembari menanti waktu syuruq. Kemudian mereka pun berlomba-lomba meraup pahala haji dan umrah yang disempurnakan dengan shalat sunnah dua rakaat.

Siangnya dihidupkan dengan memperbanyak amal shalih, bersedekah, membantu orang lain, dan memperbanyak interaksi dengan Al-Qur'an. Bahkan Imam Asy-Syafi'i sampai mengkhatamkan Al-Qur'an sebanyak 2 kali dalam sehari.

Sorenya mereka isi dengan dzikir petang. Kemudian larut dalam detik mustajab menjelang masuknya waktu maghrib, menikmati dua ganjaran kebahagiaan. Bahagia karena berbuka, dan bahagia karena puasanya menjadi wasilah berwajahah dengan Allah Ta'ala.

Sebagian waktu malamnya pun tidak mereka buang sia-sia, melainkan mereka habiskan dengan memperpanjang bacaan Al-Qur'an pada setiap rakaat qiyamullail.

Maka wajar jika Ibnu Rajab al-Hambali pernah berkata, "Bagaimana bisa seorang mukmin tidak menetes air mata ketika berpisah dengan Ramadhan, sedangkan ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya untuk berjumpa lagi", karena mereka sadar betul akan pahala berlimpah yang diterima saat melakukan amaliyah di bulan Ramadhan.

Lalu bagaimana dengan kita? Di penghujung Ramadhan ini kita kerap mengatakan bersedih karena bulan penuh ampunan itu akan segera pergi. Namun apakah kita benar-benar bersedih?

Kita selalu merasa puas dalam beribadah, kemudian langsung merasa paling shalih, paling hebat, dan paling banyak amalnya. Padahal, baru satu juz kita membaca ayat-Nya, mata kita sudah suntuk, ingin segera membuka gadget. Kita tidak tahan melaksanakan qiyamullail, jarang sekali beristighfar, apalagi berdzikir. Infaq dan sedekah hitung-hitungan, itu pun ingin dilihat orang lain. Jangankan membantu orang lain, berusaha untuk tidak tidur setelah shalat subuh saja kita tidak mampu, ngantuk. Lemah sekali kita ini.

Duh, saya hanya ragu, jangan-jangan kita ini hanya sedang pura-pura bersedih dengan kepergian Ramadhan.

Belum ada Komentar untuk "Pura-pura Bersedih Karena Ramadhan Pergi"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar terbaik anda.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel